Krisis Ekonomi Terparah Indonesia Karena Cetak Uang Kebanyakan – tahun 1961-1965

Krisis Ekonomi Terparah Indonesia Karena Cetak Uang Kebanyakan – tahun 1961-1965

Selamat Datang di NinoPedia.comKrisis Ekonomi Terparah Indonesia Karena Cetak Uang Kebanyakan – Dalam diskusi kali ini saya ingin mengangkat berbagai konflik nasional pasca kemerdekaan, 

Mulai dari ketidakstabilan politik hingga pemberontakan di berbagai daerah di Indonesia. 

Upaya meredam instabilitas nasional ini terbukti dengan lahirnya kebijakan kontroversial yang mengosongkan perekonomian negara.

Dan pada akhirnya semua polemik tersebut berujung pada krisis ekonomi terparah yang pernah dialami Indonesia dari tahun 1961 hingga 1965.

Krisis Ekonomi Terparah Indonesia Karena Cetak Uang Kebanyakan

Langsung saja kita mulai pembahasannya, jadi begini ceritanya, setelah Indonesia merdeka dan diakui kedaulatannya, negara kita tidak serta merta bersatu dan bersatu dalam pembangunan ekonomi. 

Banyak pihak dari Indonesia sendiri yang belum sepenuhnya menerima kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia.

Sehingga banyak terjadi pemberontakan di daerah-daerah seperti Permesta di Manado, RMS di Maluku, DI/TII, belum lagi perang melawan Belanda untuk menaklukkan Barat – Irian di tengah banyak potensi perpecahan bangsa.

Tak heran jika anggaran negara terlalu banyak dialokasikan untuk belanja militer. Terlihat dari grafik ini dimana sebagian besar pengeluaran pemerintah.

Sebenarnya untuk keperluan militer dan juga untuk proyek pembangunan nasional, yang berarti sangat sedikit anggaran yang tersisa untuk mendukung kesejahteraan rakyat.

Perang dan Pemberontakan

Dari semua perang dan pemberontakan ada 2 Operasi militer adalah yang terkuat. Anggaran negara terdiri dari operasi Trikora pembebasan Irian Barat dari Belanda dan operasi Dwikora yang sering kita kenal dengan kampanye Hancurkan Malaysia 2.

Kampanye militer ini, dan beberapa pemberontakan lainnya, akhirnya menjadi faktor utama defisit anggaran pemerintah pimpinan Soekarno pada tahun 1963-1965. 

Sekedar ilustrasi: Indonesia menerima bantuan kredit ekspor sebesar 2,5 miliar lebih dari Uni Soviet. . Indonesia juga menerima hibah dari Presiden Kennedy untuk senjata seperti C-130 Hercules, yang masih digunakan sampai sekarang.

Banyaknya jumlah senjata yang dibeli dan diterima Indonesia pada saat itu menjadikan militer Indonesia yang paling kuat di belahan bumi selatan. 

Namun terlepas dari kemajuan militer, ekonomi Indonesia terus mengalami kemunduran selama tahun 1960-an, sementara ekspor Indonesia turun dari $840 juta menjadi $680 juta antara tahun 1960 dan 1966. 

Alasan utama penurunan nilai ekspor ini adalah penurunan penjualan sebesar 50%. harga karet di pasar internasional sejak tahun 1960, ketika karet menjadi ekspor utama Indonesia.

Sementara barang ekspor lainnya seperti kopra, teh, tembakau dan timah juga mengalami penurunan volume dan kuantitas sejak tahun 1960, kampanye Hancurkan Malaysia juga telah memperketat perdagangan ekspor Indonesia. 

Sejak konfrontasi tersebut, Indonesia memberlakukan embargo ekonomi terhadap Malaysia.

Sulit mencari pasar baru

Akibatnya, Indonesia sulit mencari pasar baru yang siap memulai penjualan ekspor, terutama 60% produksi karet dan 50% hasil tambang timah nonmiliter yang dijual sebelumnya diekspor ke Malaysia.

Saat itu, APBN juga besar dan dialokasikan untuk proyek-proyek besar di pulau Jawa.

Misalnya penyiar TVRI Monumen Nasional, Gelora Bung Karno, Masjid Istiqlal dan Asian Games di Indonesia tahun 1962. S

emua proyek tersebut meningkatkan derajat dan martabat bangsa Indonesia, tetapi sebenarnya masih banyak hal yang lebih diprioritaskan. 

meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian ekonomi di berbagai daerah. Saat itu infrastruktur dasar di berbagai daerah sangat minim.

Daerah di luar Jawa belum ada jalan beraspal, belum banyak dermaga atau pelabuhan, belum banyak fasilitas pasar yang menjadi pusat perekonomian daerah.

Kritik Kebijakan Pemerintah

Hal ini pula yang menjadi alasan banyak pihak mengkritik kebijakan pemerintah saat itu, termasuk Bung Hatta yang saat itu sudah tidak aktif lagi di pemerintahan anggaran negara. 

Defisit pendapatan juga sangat kecil dengan jumlah penduduk yang sangat besar dan lembaga penunjang ekonomi yang hanya terfokus di Pulau Jawa.

Indonesia sama sekali tidak memiliki ruang gerak ekonomi. Pada saat itu, pemerintah Indonesia tidak memiliki alternatif untuk menutupi anggarannya.

akhirnya mengambil langkah yang akan mengarah pada mimpi buruk mencetak uang sebanyak mungkin. 

Untuk tujuan ini, Indonesia bahkan mengubah undang-undang tentang independensi bank sentral.

Sejak tahun 1957, Bank Sentral Indonesia kehilangan wibawanya sebagai lembaga independen yang mengatur kebijakan moneter tanpa diganggu oleh pemerintah.

Setelah mengambil alih kekuasaan bank sentral, pemerintah terus mencetak uang untuk mendanai anggaran militer dan proyek pembangunan di pulau Jawa.

Pencetakan uang secara besar-besaran membuat aliran uang tidak terkendali. Sejak tahun 1962-1966, jumlah uang beredar di paroki meningkat 150 kali lipat. 

Saat itu rakyat Indonesia tiba-tiba kebanjiran banyak uang, semua orang Indonesia punya banyak uang. tetapi alih-alih menjadi kaya, apa yang ada untuk menjadi lebih miskin dan menderita, 

Bagaimana bisa? 

Ya, karena jumlah uang melonjak, bagaimanapun juga, pada tahun 1960-an, harga kebutuhan pokok naik dengan cepat.

Harga makanan pokok naik hampir 260 kali lipat. Titik tertinggi tingkat inflasi Indonesia naik menjadi 594% pada tahun 1965. 

Sebagai perbandingan: Tingkat inflasi Indonesia selama krisis mata uang yang sangat menyedihkan tahun 1998 adalah 78%, sedangkan tingkat inflasi Indonesia adalah 1965. 

Itu hampir 600%. Itu membuat krisis ekonomi tahun 1960-an menjadi krisis ekonomi terburuk yang pernah dialami Indonesia. 

Bisa dibayangkan situasi saat itu, semua orang punya uang, tapi harga barang kebutuhan pokok seperti beras, telur dan daging naik drastis setiap hari.

Setiap hari, uang kehilangan nilainya, daya belinya turun, dan orang lebih menghargai segenggam beras daripada uang, yang nilainya terus menurun. 

Hal ini mengarah pada kenyataan bahwa setiap kali mereka mendapatkan uang, orang-orang segera berusaha menghabiskan uang itu, 

Mengetahui bahwa uang yang mereka miliki akan memiliki daya beli yang menurun dalam waktu singkat. Tingkah laku masyarakat yang terus membelanjakan uang dan menimbun barang ternyata semakin parah.

Keadaan krisis kebutuhan pokok, terjadi kelangkaan barang dimana-mana dan harganya terus naik karena semakin langka pada tahun 1965.

Banyak pertokoan tutup karena masyarakat sudah habis terjual sehingga harus mengantri untuk mendapatkan jatah bulanan sembako dari pemerintah Infrastruktur mandek.

Karena kekurangan uang di penghujung Demokrasi Terpimpin 80% jalan nasional dan provinsi rusak kondisi karena tidak terawat. 

Banyak senjata militer berhenti karena tidak terawat dan suku cadangnya sangat mahal.

Pemerintah menekan hiperinflasi

Pemerintah berupaya semaksimal mungkin untuk menekan hiperinflasi, mulai dari pengendalian harga hingga pembayaran gaji berupa beras. 

Pada saat yang sama, bahkan 90% dari rekening giro dan saldo bank di atas jumlah tertentu akan dibekukan. Rekening yang dibekukan diambil alih oleh negara

Dan kemudian ditukar dengan obligasi pemerintah atau obligasi ketika jumlah uang beredar di luar kendali.

Pemerintah Indonesia bahkan mengubah nilai mata uang dari Rp. 1000 banding 1 Rupiah pada tahun 1965, namun semua langkah tersebut sia-sia dan situasi terus memburuk. 

Ekonom Boediono mengatakan semua langkah yang diambil pemerintah Indonesia saat itu tidak ada artinya karena tidak mengatasi penyakit utamanya, defisit anggaran pemerintah, 

karena alokasi anggaran yang tidak memadai. Jadi bagaimana krisis ini akhirnya bisa dikendalikan?

Kesimpulan

Itulah Pembahasan tentang Krisis Ekonomi Terparah Indonesia Karena Cetak Uang Kebanyakan – Dalam ilmu ekonomi misalnya, ketika jumlah uang beredar terlalu banyak dan harga barang naik secara tidak terkendali.

Sebaiknya kita hentikan saja proses pencetakan uang. Dan ternyata begitu pemerintah berhenti mencetak uang, inflasi terkendali, harga komoditas mulai stabil, dan daya beli uang juga semakin terkendali. Orang-orang tidak khawatir lagi, besok uangnya tidak akan berharga.